KLH Perkenalkan PROPER 2025, Dorong Inovasi dan Keberlanjutan Korporasi Melampaui Kepatuhan
Jakarta, sustainlifetoday.com — Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) resmi memperkenalkan aturan baru penilaian Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan (PROPER) melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup/BPLH Nomor 7 Tahun 2025.
Kebijakan ini mempertegas arah baru pengelolaan lingkungan di sektor industri, tidak lagi sekadar berorientasi pada kepatuhan terhadap regulasi, melainkan juga pada inovasi, efisiensi sumber daya, dan pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan.
Program PROPER merupakan pelaksanaan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang menugaskan pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap ketaatan pelaku usaha dalam memenuhi perizinan lingkungan. Melalui sistem pemeringkatan, PROPER menilai kinerja pengelolaan lingkungan perusahaan dari Merah, Hitam, Biru (kepatuhan dasar) hingga Hijau dan Emas, yang menandakan praktik beyond compliance dan kontribusi nyata terhadap keberlanjutan.
Direktur Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Udara KLH/BPLH, Nixon Pakpahan, menegaskan bahwa penilaian berbasis Life Cycle Assessment (LCA) kini menjadi elemen fundamental dalam sistem PROPER 2025.
“Karena kita menilai kinerja lingkungan, maka tidak akan terlepas dari LCA. Ini hal yang mendasar yang akan dinilai. Peserta PROPER harus membuktikannya dengan skor sesuai kriteria masing-masing. Setiap item akan dinilai buktinya, dan kita akan melakukan verifikasi lapangan untuk peringkat Hijau atau Emas. Pada periode sebelumnya hal itu belum dilakukan, sehingga ke depan dokumen akan dicek kesesuaiannya dengan kondisi nyata di lapangan,” ujar Nixon dilansir laman Kementerian Lingkungan Hidup, Kamis (6/11).
Dalam regulasi baru ini, cakupan penilaian diperluas, meliputi kepemilikan dokumen lingkungan, pengendalian pencemaran air dan udara, pengelolaan limbah B3 dan non-B3, audit lingkungan, serta pengelolaan lahan gambut dan pertambangan.
Indikator baru juga diperkenalkan, termasuk penerapan sistem manajemen lingkungan, efisiensi energi dan air, pengurangan emisi, konservasi keanekaragaman hayati, hingga aspek sosial seperti pemberdayaan masyarakat dan respon bencana berkelanjutan. Untuk sektor perkebunan sawit, perusahaan kini diwajibkan menjadi anggota GAPKI sebagai bagian dari persyaratan tambahan.
Baca Juga:
- Menteri PU Dorong Infrastruktur Ramah Lingkungan dan Tahan Bencana
- PLN IP Minati Proyek PLTSa, Tunggu Arah Kebijakan dari Danantara
- Pemerintah Pulihkan Habitat Gajah Sumatera yang Rusak akibat Perambahan Sawit
Pakar LCA dari Universitas Airlangga, Aditya Prana Iswara, menekankan pentingnya ketelitian dalam penyusunan laporan kajian.
“Pedoman penyusunan laporan LCA memang membolehkan penilaian meskipun laporan tinjauan kritis tidak dilampirkan. Namun hal tersebut sangat disayangkan karena laporan tinjauan kritis memiliki bobot besar, yakni 10 poin. Jangan sampai dokumen tertukar dan mohon dicek dengan hati-hati,” tegasnya.
Sementara itu, pemerintah juga menyoroti keberlanjutan sosial sebagai aspek penting dalam penilaian. Untuk meraih peringkat Emas, perusahaan harus menunjukkan eco-innovation, green leadership, serta penerapan Social Return on Investment (SROI) dan nilai ekonomi karbon dalam model bisnisnya.
Pakar pemberdayaan masyarakat dari Universitas Gadjah Mada, Krisdyatmiko, menilai bahwa pendekatan ini menuntut dampak sosial yang berkelanjutan.
“Aspek perbaikan terus-menerus dimaksudkan agar perusahaan mampu menunjukkan bahwa dalam kegiatan respon bencana, mereka tidak hanya berhenti di tahap tanggap darurat seperti pemberian bantuan langsung. Perusahaan harus mampu memberikan kemandirian bagi masyarakat yang sempat terpuruk akibat bencana,” ujarnya.
Sebagai bagian dari upaya mendorong praktik beyond compliance, pemerintah juga memperkenalkan program Taman Asuh Sayang Anak (TAMASYA) yang melibatkan perusahaan dalam pendampingan keluarga serta pemantauan tumbuh kembang anak bersama BKKBN.
Seluruh proses penilaian PROPER akan disertai dengan pengawasan ketat terhadap kompetensi personel, perizinan teknis, dan pelaksanaan pemulihan ekosistem gambut, terutama bagi perusahaan yang beroperasi di lahan gambut. Pemerintah menetapkan batas akhir pengajuan dokumen PROPER Hijau hingga 16 November 2025.
Dengan peluncuran PROPER 2025, pemerintah berharap dunia usaha tidak lagi memandang program ini sebagai alat pengawasan semata, tetapi sebagai peluang untuk memperkuat daya saing, efisiensi produksi, dan inovasi lingkungan yang berorientasi pada ekonomi hijau dan keberlanjutan jangka panjang.
