Negara Maju Ingkar Janji, Dana Krisis Iklim Masih Mandek

Jakarta, sustainlifetoday.com – Dua tahun setelah disepakati, janji negara-negara maju untuk menyalurkan dana kompensasi dampak krisis iklim (loss and damage) masih jauh dari kata ditepati. Dari total komitmen sebesar 789 juta dolar AS, hingga pertengahan 2025 baru sekitar 348 juta dolar AS yang benar-benar dicairkan. Ini memicu kekhawatiran mendalam dari negara-negara berkembang yang paling rentan terhadap bencana iklim.
Dana tersebut disalurkan melalui Fund for Responding to Loss and Damage (FRLD), lembaga multilateral yang dibentuk untuk membantu negara-negara yang mengalami kerusakan akibat krisis iklim seperti banjir, kekeringan ekstrem, dan naiknya permukaan laut.
Namun dalam praktiknya, banyak negara pendonor belum menunjukkan kepastian pencairan dana. Italia, Uni Eropa, dan Luksemburg bahkan tidak menyebutkan batas waktu penyaluran. Hal ini membuat Dewan Negara Berkembang di FRLD mempertanyakan keseriusan negara maju.
“Transparansi dan prediktabilitas penyaluran dana masih sangat lemah,” ujar Elena Cristina Pereira Colindres, perwakilan Honduras dalam FRLD, dikutip dari Climate Home News, Jumat (11/7).
“Situasi ini menyulitkan kami menyusun anggaran yang dapat diandalkan, dan semakin mengikis kepercayaan terhadap komitmen jangka panjang negara-negara mitra,” lanjutnya.
Meski FRLD telah menyetujui alokasi sebesar 250 juta dolar AS untuk tahun 2026, jumlah ini masih sangat kecil dibandingkan kebutuhan riil di lapangan. Menurut penelitian yang dimuat dalam jurnal Nature tahun 2024, total kerugian ekonomi akibat perubahan iklim secara global diperkirakan mencapai 395 miliar dolar AS per tahun.
Baca Juga:
- Banjir di Musim Kemarau, Wakil Ketua MPR: Bukti Krisis Iklim Sudah Nyata
- Wali Kota Palembang Dorong UMKM Gunakan Kemasan Ramah Lingkungan
- PBB Rilis Daftar 48 Perusahaan yang Terlibat dalam Krisis di Gaza
Negara-negara berkembang telah menyerukan agar pendanaan loss and damage minimal sebesar 100 miliar dolar AS per tahun hingga 2030. Angka ini dianggap realistis untuk menutupi dampak iklim yang kian menghantam infrastruktur, ketahanan pangan, dan ekosistem masyarakat adat dan pesisir.
Perwakilan Fiji di FRLD, Daniel Lund, bahkan menyindir bahwa anggaran saat ini tidak cukup untuk membangun satu pembangkit listrik tenaga batu bara, apalagi menanggulangi bencana iklim global.
Di tengah keraguan terhadap komitmen negara maju, FRLD sedang menyusun strategi mobilisasi pendanaan alternatif yang ditargetkan rampung pada akhir 2025. Tujuannya adalah memperluas sumber dana agar negara-negara berkembang tetap bisa menjangkau kebutuhan adaptasi dan pemulihan mereka.
Namun tanpa perubahan mendasar dalam komitmen internasional, skema pendanaan iklim global berisiko gagal menjawab urgensi krisis yang sudah semakin nyata.