Uji Formil UU Konservasi Ditolak, Masyarakat Adat dan Sipil Kritik MK

Jakarta, sustainlifetoday.com — Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji formil atas Undang-undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) menuai kritik tajam dari kelompok masyarakat sipil dan komunitas adat. Mereka menilai, keputusan ini menjadi preseden buruk yang mengancam masa depan legislasi inklusif dan berkelanjutan di Indonesia.
Tiga organisasi sipil yaitu Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama Mikael Ane, seorang warga masyarakat adat Ngkiong Manggarai dari Nusa Tenggara Timur, sebelumnya mengajukan uji formil terhadap UU tersebut.
Mereka menyoroti kurangnya partisipasi publik, khususnya dari kelompok rentan, dalam proses penyusunan UU yang seharusnya melindungi kekayaan alam dan ruang hidup masyarakat adat.
Menurut WALHI, MK justru menunjukkan kontradiksi dalam putusannya.
“Putusan Mahkamah Konstitusi ini memuat paradoks yang tergambar jelas di bagian pertimbangan,” ujar Teo Reffelsen, Manajer Hukum dan Pembelaan WALHI dilansir pada Jumat (18/7).
“Di satu sisi menolak permohonan, tapi di sisi lain menyarankan pembentuk Undang-undang untuk memaksimalkan partisipasi publik lewat teknologi informasi. Ini menunjukkan pertimbangan MK tidak solid dan cenderung ragu-ragu,” lanjutnya.
Senada dengan itu, Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati menyebut putusan ini menambah daftar panjang regulasi yang disahkan tanpa keterlibatan bermakna dari masyarakat adat dan komunitas lokal, khususnya mereka yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Baca Juga:
- Memahami Kehidupan hingga Kondisi Arktik Terkini dari Film “Sore: Istri dari Masa Depan”
- IATA Kritik Kebijakan Uni Eropa soal Avtur Berkelanjutan
- Gus Baha: Menjaga Alam Adalah Bentuk Sedekah dan Amanah Spiritual
“Seharusnya keadilan untuk seluruh masyarakat adat dan komunitas lokal dalam penyusunan peraturan perundang-undangan dijunjung tinggi oleh MK,” tegas Susan.
Putusan MK ini memang tidak bulat. Dua hakim konstitusi, Ketua MK Suhartoyo dan Wakil Ketua MK Saldi Isra, menyampaikan dissenting opinion, menyatakan bahwa permohonan seharusnya dikabulkan, atau paling tidak dikabulkan sebagian. Mereka menilai proses penyusunan UU KSDAHE telah mengabaikan asas keterbukaan dan keterlibatan publik.
Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi menambahkan, ketiadaan partisipasi penuh dan efektif membuat UU KSDAHE kehilangan legitimasi di mata masyarakat adat.
“Dalam kacamata kami, masyarakat adat, UU KSDAHE ini legal but not legitimate,” katanya.
Ia juga menyoroti bahwa dari 21 sesi pembahasan, hanya dua yang terbuka untuk publik, dan masukan masyarakat adat tidak diakomodasi.
Sementara itu, Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan amar putusan menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Putusan ini juga dilengkapi dengan concurring opinion dari Hakim Arsul Sani, yang meskipun sepakat untuk menolak, menyampaikan alasan berbeda dari mayoritas hakim.