Soeharto Resmi Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional di Tengah Bayang-Bayang Korupsi dan Pelanggaran HAM
Jakarta, sustainlifetoday.com — Presiden Prabowo Subianto resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto dalam upacara kenegaraan di Istana Negara, Jakarta. Keputusan ini memicu perdebatan luas di ruang publik, terutama karena rekam jejak Soeharto yang masih dibayangi isu korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) selama 32 tahun masa kepemimpinannya.
Menurut pernyataan resmi yang disampaikan Menteri Sosial, penganugerahan tersebut diberikan setelah melalui proses kajian dan pertimbangan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Pemerintah menilai Soeharto berjasa besar dalam membangun ekonomi nasional, menjaga stabilitas politik, serta meletakkan dasar pembangunan yang menopang kemajuan Indonesia modern.
Namun, di balik penghargaan tersebut, muncul kritik keras dari sejumlah aktivis HAM dan sejarawan. Mereka menilai keputusan ini berpotensi menjadi bentuk “pencucian sejarah” yang mengabaikan penderitaan para korban pelanggaran HAM masa Orde Baru dan kasus korupsi besar yang diduga melibatkan keluarga Cendana.
“Pemberian gelar ini mencederai semangat Reformasi dan mengaburkan tanggung jawab atas pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu,” ujar Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, dalam pernyataannya.
Ia menegaskan bahwa negara seharusnya mengedepankan keadilan dan rekonsiliasi, bukan glorifikasi terhadap figur yang kontroversial.
Sementara itu, sejumlah pejabat negara menilai penganugerahan tersebut tidak serta merta menghapus catatan sejarah, melainkan bentuk penghormatan terhadap jasa-jasa Soeharto dalam membangun ekonomi dan ketahanan pangan nasional. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebut, “Ada kekurangan, tapi lebih banyak jasanya kepada negara ini.”
Antara Penghargaan dan Rekonsiliasi Sosial
Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto menimbulkan pertanyaan besar dalam konteks keberlanjutan sosial dan sejarah bangsa. Di satu sisi, penghargaan ini diharapkan dapat memperkuat rasa nasionalisme dan pengakuan terhadap jasa pembangunan. Namun di sisi lain, banyak pihak khawatir bahwa langkah ini justru memperlemah upaya rekonsiliasi dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang belum tuntas hingga kini.
Baca Juga:
- Wapres Gibran Ajak Anak Muda Aktif Kampanyekan Pelestarian Lingkungan di Media Digital
- Maybank Indonesia Salurkan Pembiayaan Syariah Berbasis Keberlanjutan untuk Proyek PLTGU PLN Batam
- Menteri Hanif: Kolaborasi dengan The Royal Foundation Tonggak Baru Perlindungan Alam Indonesia
Dalam perspektif keberlanjutan sosial, keputusan ini mencerminkan dilema antara menghormati masa lalu dan menegakkan tanggung jawab sejarah. Masyarakat sipil menilai, penghargaan seperti ini seharusnya disertai dengan langkah nyata untuk membuka arsip sejarah, memberikan ruang bagi suara korban, dan memastikan tidak ada pengulangan atas praktik pelanggaran HAM di masa depan.
Tantangan Memahami Warisan Sejarah
Soeharto dikenang sebagai pemimpin yang membawa Indonesia menuju swasembada pangan, pertumbuhan ekonomi pesat, dan stabilitas politik. Namun, di balik keberhasilan itu, masa pemerintahannya juga ditandai dengan pembungkaman kebebasan pers, korupsi yang mengakar, serta pelanggaran HAM berat seperti Tragedi 1965, Petrus, dan penindasan aktivis menjelang Reformasi 1998.
Peneliti sejarah politik dari Universitas Indonesia, Dr. Asvi Warman Adam, menilai bahwa gelar pahlawan seharusnya tidak hanya mengukur kontribusi pembangunan, tetapi juga menimbang nilai moral, keadilan sosial, dan penghormatan terhadap kemanusiaan.
“Kita perlu menilai tokoh sejarah secara utuh, bukan hanya dari sisi keberhasilan ekonomi, tetapi juga dari dampak sosial dan etis kepemimpinannya,” ujarnya.
Refleksi untuk Masa Depan
Penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional menjadi cermin bagaimana bangsa ini menghadapi warisan masa lalu. Dari perspektif keberlanjutan sosial, keputusan tersebut membuka ruang diskusi penting: bagaimana menghormati jasa tanpa menutup mata terhadap kesalahan sejarah.
Langkah pemerintah ke depan diharapkan tidak berhenti pada pemberian gelar, tetapi juga memperkuat komitmen terhadap keadilan sosial, transparansi sejarah, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Sebab, keberlanjutan sejati tidak hanya berbicara soal ekonomi dan lingkungan, tetapi juga keberanian menghadapi masa lalu dengan jujur demi masa depan yang inklusif dan berkeadilan.
