Rosan Roeslani: Indonesia Hadapi Kondisi Darurat Sampah

JAKARTA, sustainlifetoday.com — CEO Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), Rosan Roeslani, mengungkapkan bahwa Indonesia tengah menghadapi kondisi darurat sampah. Produksi sampah nasional kini mencapai 35 juta ton per tahun, mencerminkan krisis lingkungan yang semakin mendesak.
“Kita melihat darurat. Tidak hanya di Jakarta, tetapi banyak di kota-kota besar lainnya. Dan kami meyakini bahwa waste-energy adalah suatu solusi jangka panjang yang bisa menyatukan isu lingkungan, kesehatan, dan juga energy,” kata Rosan dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengolah Sampah Menjadi Energi (Waste to Energy) bersama kementerian dan lembaga terkait, di Gedung Wisma Danantara, Jakarta, Selasa (30/9).
Jika diibaratkan dengan lapangan bola, volume sampah tersebut setara dengan 16.500 lapangan bola dengan tinggi sampah mencapai satu meter. Bahkan, jika ditumpuk di wilayah Jakarta, sampah itu akan menutupi ibu kota dengan ketebalan sekitar 20 sentimeter.
“Jadi bisa dibayangkan begitu banyak sampah yang kita hasilkan setiap tahunnya di Indonesia ini,” ujarnya.
Rosan menjelaskan, pertumbuhan penduduk dan pola konsumsi masyarakat yang semakin meningkat memperparah produksi sampah. Tanpa langkah serius dalam pengelolaan, volume sampah akan semakin sulit dikendalikan dan berpotensi memicu bencana lingkungan.
Baca Juga:
- Kepatuhan Reklamasi Tambang Naik Jadi 72 Persen, ESDM: Bukan Sekadar Administrasi
- Topan Ragasa Porak-Porandakan Asia, BMKG Ingatkan Dampaknya ke Indonesia
- YesssCredit Perluas Inklusi Pembiayaan Digital hingga Kota-Kota Berkembang
Dari total produksi tersebut, sekitar 61 persen sampah tidak terkelola dengan baik. Sampah umumnya dibuang sembarangan atau dibakar terbuka, menimbulkan pencemaran udara serta risiko kesehatan. Hanya 38 persen yang berhasil dikelola dengan benar melalui pemilahan dan pengangkutan ke pusat pengolahan.
“Tempat pembuangan sampah ini kurang lebih sekarang menyumbang kurang lebih 2-3 persen emisi gas rumah kaca nasional,” jelasnya.
Selain itu, emisi gas metana dari TPA juga memberi kontribusi signifikan terhadap emisi gas rumah kaca (GRK) nasional, memperburuk tantangan mitigasi perubahan iklim. Dampak buruk lainnya mencakup pencemaran air, udara, dan tanah yang langsung dirasakan masyarakat, serta kasus kebakaran dan longsor di TPA yang menelan korban jiwa.
“Kita juga ketahui ada beberapa hal yang memang harus kita segera tindak dikarenakan kita ketahui seperti di TPA, di beberapa TPA itu terjadi kebakaran beberapa kali, termasuk juga longsor yang pernah terjadi juga di TPA lainnya yang mengakibatkan 157 korban jiwa yang terjadi,” pungkas Rosan.