Penelitian: 55 Persen Mikroplastik di Udara Berasal dari Pembakaran Sampah
Jakarta, sustainlifetoday.com — Pembakaran sampah plastik di ruang terbuka menjadi sumber dominan pencemaran mikroplastik di udara perkotaan Indonesia. Temuan ini diungkap dalam penelitian Ecological Observation and Wetland Conservations (Ecoton) bersama Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) yang dilakukan di 18 kota di Indonesia.
Berdasarkan hasil identifikasi polimer mikroplastik di udara, pembakaran sampah plastik terdeteksi di 55,6% wilayah penelitian.
“Proses pembakaran menghasilkan partikel mikroplastik jenis polyolefin termasuk PE (Polyethylene), PP (Polypropylene) dan PB (polybutene), PTFE, dan polyester yang terdispersi di udara melalui jelaga dan abu ringan,” tulis Ecoton dalam siaran persnya, dikutip Senin (27/10).
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa praktik pembakaran terbuka masih menjadi permasalahan serius, terutama di daerah padat penduduk, kawasan industri, dan lingkungan perumahan tanpa sistem pengelolaan sampah yang memadai.
Selain pembakaran, aktivitas rumah tangga dan penggunaan kemasan plastik sekali pakai juga memberikan kontribusi besar, yakni 33,3%, terutama di kota-kota seperti Jakarta, Denpasar, dan Sidoarjo. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara perilaku konsumsi masyarakat dan peningkatan beban mikroplastik di atmosfer.
Aktivitas industri dan konstruksi menyumbang 27,8%, terutama di Bandung, Surabaya, Palembang, dan Pontianak. Emisi dari sektor ini berasal dari penggunaan resin sintetis, cat berbasis polimer, serta bahan bangunan yang mengandung plastik.
Baca Juga:
- KAI Logistik Tunjukkan Komitmen ESG Lewat Transparansi Emisi Pengiriman Barang
- Dinilai Tidak Berkelanjutan, Menteri LH: Banyak Air Minum Kemasan Masih Gunakan Air Tanah
- Klarifikasi Soal Sumber Air, Aqua: Sudah Sesuai Izin dan Prinsip Keberlanjutan
Sumber lain berasal dari laundry dan tekstil domestik (22,2%) akibat pelepasan serat sintetis selama pencucian dan penjemuran pakaian, serta dari aktivitas transportasi seperti gesekan ban, aspal, dan rel KRL (16,7%).
Selain itu, aktivitas pariwisata (11,1%), perikanan dan pesisir (5,6%), serta pertanian (5,6%) turut berkontribusi terhadap emisi mikroplastik di udara. Di daerah wisata seperti Denpasar dan Gianyar, penggunaan kemasan sekali pakai dan laundry hotel memperparah pencemaran. Sementara di wilayah pesisir seperti Bulukumba dan Sumbawa, aktivitas perikanan serta penggunaan plastik pertanian (mulsa) juga menjadi sumber pelepasan mikroplastik.
”Mikroplastik adalah potongan kecil plastik berukuran kurang dari 5 milimeter. Permukaannya mudah mengikat zat beracun di sekitarnya, seperti logam berat dan bahan kimia berbahaya lainnya. Karena itu, mikroplastik bisa menjadi hingga 106 kali lebih beracun dibandingkan logam berat tunggal, sebab membawa campuran berbagai polutan sekaligus,” ujar Rafika Aprilianti, Kepala Laboratorium Mikroplastik Ecoton.
Ecoton mendesak pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup, untuk mengambil langkah strategis, di antaranya melarang pembakaran sampah terbuka, memperkuat penegakan hukum lingkungan, memperluas jaringan zero waste cities, dan melakukan pemantauan rutin terhadap kandungan mikroplastik di udara dan air hujan.
Sebelumnya, penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga menemukan partikel mikroplastik dalam air hujan di Jakarta.
Menurut Peneliti BRIN M. Reza Cordova, mikroplastik tersebut berasal dari serat sintetis pakaian, debu kendaraan, sisa pembakaran plastik, dan degradasi plastik di ruang terbuka.
Reza mengatakan, temuan ini menimbulkan kekhawatiran karena partikel mikroplastik berukuran sangat kecil, bahkan lebih halus dari debu biasa, sehingga dapat terhirup manusia atau masuk ke tubuh melalui air dan makanan.
