Badai dan Banjir Parah Terjadi di Banyak Negara, Ilmuwan: Dampak Krisis Iklim!

Jakarta, SustainLife Today — Fenomena hujan ekstrem dan banjir tidak hanya melanda Indonesia, tetapi juga berbagai belahan dunia. Peristiwa ini kian sering terjadi dengan dampak serius terhadap kehidupan masyarakat dan infrastruktur. Sejumlah ilmuwan iklim mengingatkan bahwa perubahan iklim akibat ulah manusia menjadi faktor pemicu utama intensitas dan frekuensi curah hujan ekstrem.
Ilmuwan iklim Daniel Swain dari California Institute for Water Resources within University of California Agriculture and Natural Resources menyatakan bahwa meski tak bisa diklaim secara langsung sebagai penyebab tunggal suatu peristiwa cuaca, perubahan iklim kemungkinan besar memperparah hujan deras dan banjir besar yang kini terjadi di banyak wilayah.
“Ada banyak bukti bahwa ini adalah salah satu jenis peristiwa cuaca ekstrem yang telah meningkat secara signifikan di seluruh dunia akibat pemanasan yang telah terjadi,” ujarnya seperti dikutip dari ABC News, Selasa (15/7).
“Yang saya maksud secara spesifik adalah peristiwa hujan yang sangat ekstrem, baik yang berada di batas atas atau melampaui apa yang pernah kita lihat sebelumnya. Ada bukti kuat bahwa peristiwa-peristiwa tersebut akan, dan memang sudah, meningkat akibat pemanasan,” lanjutnya.
Swain menambahkan bahwa meski prakiraan cuaca oleh lembaga seperti National Weather Services semakin akurat, intensitas dan lokasi tepat hujan ekstrem tetap sulit diprediksi secara rinci dalam jangka waktu panjang.
Sementara itu, Andrew Dessler, profesor ilmu atmosfer dan direktur Texas Center for Extreme Weather di Texas A&M University, menuturkan bahwa peningkatan intensitas hujan telah lama diprediksi dalam studi iklim.
Baca Juga:
- Industri Data Center Terancam Risiko Iklim, Potensi Kerugian Capai Miliaran Dolar?
- Uni Eropa Desak China Ambil Peran Global Hadapi Krisis Iklim
- Pegadaian dan PNM Latih Difabel Bantul Berwirausaha Lewat Batik dan Digital Marketing
“Alasan utamanya adalah udara yang lebih hangat menyimpan lebih banyak air. Jadi, saat udara hangat dan lembap ini mengalir ke dalam badai dan mulai naik dalam badai petir, semua air akan terkuras habis,” ujarnya.
Dessler mencontohkan banjir besar yang terjadi baru-baru ini di Texas, yang diperparah oleh suhu permukaan laut yang jauh lebih hangat dari biasanya di Teluk Meksiko. Kondisi ini meningkatkan penguapan dan menyebabkan akumulasi uap air dalam jumlah besar ke atmosfer.
“Tergantung di mana Anda berada, udara lembap itu dipaksa naik saat mendaki topografi. Oleh karena itu, udara tersebut mendingin dan mengembun menjadi awan ketika atmosfer mendukung terjadinya badai petir,” jelasnya.
Senada, Jennifer Marlon, ilmuwan peneliti senior di Yale School of the Environment, menyebut bahwa banjir bandang memang telah terjadi sejak lama, namun perubahan iklim akibat emisi bahan bakar fosil memperparah dampaknya.
Untuk mengatasi ancaman ini, Dessler menekankan pentingnya reformasi sistemik, mulai dari sistem peringatan dini, penguatan infrastruktur, hingga transisi menuju energi bersih.
“Selama kita terus membakar bahan bakar fosil, ini tidak akan membaik. Kita berada di dunia dengan peristiwa yang lebih intens, dan kita seharusnya melihat ke depan dan bertanya, ‘Bagaimana kita mencegahnya menjadi lebih buruk?’” kata Dessler.
Marlon menambahkan bahwa transformasi menuju energi terbarukan perlu dipandu oleh kepemimpinan yang kuat dan komitmen politik.
“Para pemimpin juga dapat menyampaikan kepada negara dan masyarakat tentang rencana mereka untuk mengatasi masalah jangka panjang perubahan iklim. Warga dapat bertanya kepada para pemimpin bagaimana mereka membantu negara kita bertransisi ke energi terbarukan, yang merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi akar permasalahan ini,” tutupnya.