Antara Kendaraan Listrik Berbasis Baterai dan Hidrogen, Mana Lebih Unggul?

Jakarta, SustainLife Today — Ketika dunia tengah terpukau oleh perkembangan kendaraan listrik baterai (Battery Electric Vehicle/BEV), Jepang memilih untuk tetap berjalan pada jalur alternatif melalui kendaraan berbahan bakar hidrogen. Keputusan ini bukan sekadar eksperimen, tetapi merupakan strategi jangka panjang yang dirancang untuk menciptakan sistem transportasi nol emisi secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Berbeda dengan BEV yang mengandalkan baterai dan infrastruktur pengisian daya, kendaraan hidrogen atau Fuel Cell Electric Vehicle (FCEV) bekerja dengan mengubah hidrogen dan oksigen menjadi listrik melalui reaksi kimia. Emisi yang dihasilkan? Hanya uap air. Tak hanya bebas emisi karbon, proses pengisian bahan bakar untuk kendaraan hidrogen juga hanya memakan waktu 3 hingga 5 menit dan menempuh jarak yang lebih jauh dibanding banyak BEV komersial saat ini.
Jepang telah lama menjadi pionir dalam teknologi ini. Pemerintahnya telah menggelontorkan miliaran yen untuk mengembangkan infrastruktur hidrogen, membangun stasiun pengisian, memberikan subsidi pada pabrikan, dan menjalin kerja sama internasional dengan Jerman, Australia, dan negara lain. Target ambisius pun ditetapkan Jepang dengan menghadirkan 800.000 unit kendaraan hidrogen dan 900 stasiun hidrogen di seluruh Jepang pada tahun 2030.
Pertarungan antara FCEV dan BEV?
Sebagai salah satu pelopor pabrikan FCEV dari negeri Tirai Bambu, Toyota menegaskan bahwa pada dasarnya antara FCEV dan BEV tidak memiliki keterikatan yang saling meniadakan. Hal tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh Ketua Dewan Toyota, Takeshi Uchiyamada.
“Kami tidak melihat hubungan yang saling meniadakan antara mobil listrik baterai dan mobil hidrogen. Kami sama sekali tidak berniat menyerah pada teknologi sel bahan bakar hidrogen,” ujarnya dikutip dari Reuters
Pernyataan ini mencerminkan pendekatan Jepang yang tidak melihat masa depan mobilitas sebagai pertarungan antara BEV dan FCEV, melainkan sebagai spektrum solusi untuk kebutuhan yang beragam. BEV sebetulnya cocok untuk penggunaan harian dan jarak pendek, sementara FCEV dinilai lebih unggul untuk transportasi jarak jauh, logistik berat, dan armada publik seperti bus atau truk.
Di Jepang sendiri, Toyota bukanlah pemain tunggal melalui model FCEV-nya Toyota Mirai. Pabrikan Honda juga turut masuk ke dalam pasar FCEV melalui model andalannya Clarity Fuel Cell, meskipun produksinya masih terbatas.
Meski begitu, perjalanan Jepang dalam mendorong adopsi FCEV tidak selalu mulus yang direncanakan. Saat ini, infrastruktur untuk pengisian hidrogen global terhitung masih minim dibandingkan dengan stasiun pengisian daya untuk BEV. Menurut laporan International Energy Agency (IEA) pada 2024, dunia hanya memiliki sekitar 1.000 stasiun hidrogen publik aktif, sebagian besar berada di Jepang, Korea Selatan, dan Jerman.
Lebih lanjut, berdasarkan Laporan Hydrogen Insights 2024 dari Hydrogen Council, Asia Timur diprediksi akan menjadi kawasan yang paling agresif dalam investasi hidrogen selama satu dekade ke depan. Jepang memimpin dalam pengembangan rantai pasok yang lengkap dan terintegrasi, mulai dari produksi hidrogen bersih, transportasi, penyimpanan, hingga penggunaan akhir di sektor otomotif dan industri berat.
Meski pasar kendaraan ramah lingkungan global saat ini didominasi oleh BEV dari Tiongkok dan Amerika Serikat, Jepang berusaha menyeimbangkan eksistensinya dengan menghadirkan opsi teknologi alternatif yang menjanjikan. Dalam konteks transisi energi global, langkah yang dilakukan Jepang pun dinilai cukup strategis untuk mengurangi ketergantungan pada baterai lithium dan menghindari monopoli rantai pasok pada bahan baku kritis.
Di taraf internasional, ketertarikan global terhadap FCEV pun sebenarnya mulai menujukan geliatnya. Negara-negara seperti Jerman, Arab Saudi, dan Korea Selatan kini telah mengimpor kendaraan hidrogen asal Jepang sebagai bagian dari proyek uji coba atau armada untuk pemerintahan. Meski pertumbuhan di pasar ritel masih kecil, permintaan di segmen kendaraan komersial dan logistik perlahan mulai tumbuh.
Keputusan Jepang mempertahankan jalur hidrogen bisa jadi akan dinilai sebagai langkah berani yang visioner dalam beberapa dekade ke depan. Dengan kombinasi inovasi teknologi, kebijakan pemerintah yang konsisten, dan integrasi infrastruktur energi bersih, Jepang sedang merancang masa depan transportasi yang tidak hanya bebas emisi, tetapi juga fleksibel dan berdaya tahan tinggi.
Dampak Lingkungan
Produksi dan pembuangan baterai lithium dalam skala besar menimbulkan tantangan lingkungan tersendiri untuk BEV. Tambang bahan baku seperti lithium, kobalt, dan nikel sering dikaitkan dengan kerusakan ekosistem, polusi air, dan pelanggaran hak asasi manusia. Sebaliknya, FCEV menggunakan hidrogen sebagai bahan bakar, yang dapat diproduksi secara bersih melalui elektrolisis menggunakan energi terbarukan.
Namun begitu, penting juga untuk dipastikan bahwa sumber bahan bakar FCEV diproduksi dari sumber terbarukan yang dikenal sebagai hidrogen hijau atau green hydrogen. Bila tidak, FCEV bisa kalah efisien dibanding BEV dari sudut pandang energi, biaya, dan dampak lingkungannya.
IEA juga menyoroti bahwa untuk mencapai target net-zero global, negara perlu mendukung produksi hidrogen rendah emisi. Hal tersebut seperti yang disampaikan Direktur Eksekutif IEA, Fatih Birol.
“Penting mendukung pengembangan hidrogen rendah emisi jika pemerintah ingin memenuhi ambisi iklim dan energi mereka. Kita melihat kemajuan menarik dalam menjadikan hidrogen lebih bersih, lebih terjangkau, dan lebih tersedia di berbagai sektor,” katanya dikutip dari globalhydrogenreview.com.