Dunia K3 RI Berduka, Eks Ketua DK3N dr Harjono Tutup Usia
JAKARTA, sustainliftoday.com – Jagat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Indonesia kehilangan putera terbaiknya. Mantan Ketua Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N) dr Harjono, MSc meninggal dunia pada Jumat (14/11/2025) pukul 23.35 WIB.
Hingga berita ini diturunkan belum diperoleh informasi penyebab pasti berpulangnya Harjono menghadap Sang Khalik. Namun ditengarai kuat karena penyakit yang dideritanya.
Sejak Minggu (9/11/2025), Harjono dikabarkan sudah menjalani perawatan intensif di ICU RS Pertamina Jaya, Jakarta.
Bekerja di Pindad
Dr Harjono, MSc merupakan pria kelahiran Sumenep, Madura, 10 Januari 1938. Meski lahir di Sumenep, ia menghabiskan masa kecil hingga remajanya di kota Jember, Jawa Timur lantaran sang ayah bekerja di sebuah perkebunan di Jember.
Baca Juga:
- APP Group dan WWF Dorong Regenerasi Hutan Berkelanjutan di Indonesia
- WALHI Kritik Pemerintah di COP30, Sebut Perdagangan Karbon “Solusi Sesat”
- KLH Tindaklanjuti Kematian Dua Pesut Mahakam, Perketat Pengawasan Tambang dan Tongkang
Selepas SMP di Jember, ia kembali ke Sumenep dan melanjutkan studinya di sebuah SMA di sana hingga lulus tahun 1957. Dari sini ia melanjutkan kuliah ke Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan lulus pada 1964.
Situasi politik Indonesia ketika itu penuh gejolak. Seluruh sarjana yang baru lulus, wajib mengikuti wajib militer. Termasuk Harjono.
“Saat itu, begitu lulus menjadi dokter, saya direkrut TNI AD dan berpangkat Letnan Satu,” kata Harjono kepada penulis yang mewawancarainya pada 2021 silam.
Oleh TNI AD, Lettu Harjono muda ditempatkan di Perindustrian Angkatan Darat (PINDAD), pabrik persenjataan dan perlengkapan militer. Di sini ia bekerja selama hampir 10 tahun (1964 – 1973) hingga berpangkat Mayor.
DI PINDAD ini pula, ia untuk pertama kalinya berkenalan dengan K3. Kala itu PINDAD memiliki tujuh pabrik yang memiliki karyawan sekitar 6.400 orang. Jumlah yang besar untuk ukuran zaman itu.
Banyak karyawan yang sakit. Namun berdasarkan pengamatannya, sakit yang diderita para karyawan tersebut berbeda dengan sakit yang diderita masyarakat pada umumnya. Misalnya karyawan di Biro Teknik, yang memroduksi bahan peledak, bom, dan sejenisnya, otot-otot bagian tangannya kok mengecil.
Pikiran Harjono lalu menari-nari. “Ini bukan sakit biasa. Tetapi ada hubungannya dengan tempat kerja dalam kaitannya dengan penggunaan bahan-bahan kimia sebagai material pembuatan mesiu dan bahan-bahan peledak,” kisahnya mengenang kembali peristiwa di sekitar tahun 1964.
Ditegur Jenderal
Harjono mulai melakukan pengamatan secara intens, khususnya terhadap para pekerja di Biro Teknik. Di sisi lain, ia pun mencari berbagai literatur tentang kesehatan kerja. Pada zaman itu cukup sulit mendapatkan literatur, sehingga dengan susah payah Haryono bisa mendapatkannya.
Sebagai dokter, ia meyakini bahwa penyakit yang diderita karyawan bukan penyakit biasa. Tetapi bertaut erat dengan tempat kerja dan pekerjaan yang dilakukannya selama ini.
Alih-alih dapat pujian, ia justru dipanggil Direktur Pindad yang berpangkat Mayjen TNI.
“Kamu ini macam-macam. Apa-apaan. Kamu itu urusannya rumah sakit, bukan pabrik. Pabrik ini sudah ada sejak zaman Belanda. Para pekerja selalu diberi susu satu gelas sehari untuk menjaga kesehatan,” kata sang Mayjen sebagaimana ditirukan kembali oleh Harjono.
“Tidak Jenderal. Ini tidak ada kaitannya dengan konsumsi susu,” timpal Harjono yang kala itu masih berpangkat Lettu.
“Terus apa urusan Anda?” hardik sang jenderal.
Harjono menjelaskan bahwa penyakit yang diderita karyawan terkait bidang pekerjaan yang dilakukannya, kondisi lingkungan tempat kerja termasuk masalah keselamatan kerja.
Pemberian susu sapi segar saja tidak cukup walaupun bagus. Diperlukan perbaikan dan monitoring kerja serta lingkungan untuk kesehatan dan Safety.
Harjono pun berkisah bahwa pada saat itu belum dikenal istilah kesehatan kerja sehingga wajar apabila sang Jenderal menegurnya.
Tahun 1966, ketika Haryono berpangkat Kapten, ruang Biro Teknik meledak dan terbakar. Sejak itulah, Harjono diberi tugas untuk memperhatikan aspek keselamatan dan kesehatan pekerja di PINDAD.
Di PINDAD, Harjono mengabdi sebagai dokter rumah sakit perusahaan selama hampir 10 tahun. Ia tercatat sebagai orang yang pertama kali meletakkan dasar-dasar K3 di pabrik yang kini bernama PT PINDAD.
DK3N
Harjono bisa saja menjadi jenderal bintang empat jika tetap berkarya dan bekerja di TNI AD. Pada usia 35, ia sudah berpangkat Mayor. Namun ia justru memutuskan berhenti dan keluar sebagai prajurit di saat pangkatnya sudah perwira menengah, Mayor.
Dari Pindad, Harjono bekerja di PT Freeport Indonesia di Papua yang kala itu baru saja dibuka. Di sini, ia bekerja hanya satu tahun (1973-1974). Kendati seumur jagung, toh dari hasil bekerja setahun di Freeport ini, ia bisa membeli sebidang tanah dan rumah di kawasan Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Selepas Freeport, Harjono berlabuh di PT Pertamina pada 1874 hingga pensiun di tahun 1992.
Sejak 1992, ia bergabung di DK3N sebagai anggota selama 14 tahun, hingga 2006. Pada 2006, ia diangkat sebagai Ketua DK3N. Jabatan ini diembannya selama lima tahun atau hingga 2011.
Sejak itu ia bergabung di APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia). Selamat jalan Dr Harjono, MSc…..
Tulisan ini telah naik di portal Improvement.co.id, ditulis oleh Hasanuddin.
