Perubahan Iklim Ancam Ketahanan Pangan dan Ekonomi, KLH Ingatkan Dampaknya
Jakarta, sustainlifetoday.com — Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menegaskan bahwa perubahan iklim bukan sekadar persoalan lingkungan atau cuaca ekstrem, tetapi sudah menjadi ancaman serius terhadap stabilitas ekonomi nasional. Dampaknya meluas ke berbagai sektor penting seperti pangan, kesehatan, energi, hingga tata kelola sumber daya air.
Direktur Adaptasi Perubahan Iklim KLH, Franky Zamzani, menyebutkan bahwa perubahan iklim dapat menekan produktivitas sejumlah komoditas pangan utama.
“Dalam sektor pangan, produktivitas padi dan jagung berpotensi turun antara rata-rata 0,92 persen per tahun dengan total kerugian lahan tanam sekitar 4,3 juta hektare pada 2050. Untuk buah dan sayur diperkirakan turun 5% hingga 7% dan sektor perkebunan hingga 9%. Secara agregat sektor pangan berpotensi kehilangan 0,18% hingga 1,26% dari produk domestik bruto (PDB) nasional,” ujarnya, dikutip dari Antara, Jumat (31/10).
Franky menjelaskan bahwa perhitungan tersebut berdasarkan kajian lintas sektor dan studi ekonomi yang menilai dampak perubahan iklim terhadap produktivitas dan daya saing nasional.
“Suatu kenyataan penting juga bahwa perubahan iklim bukan hanya isu lingkungan tapi juga permasalahan ekonomi nasional. Berdasarkan berbagai laporan dan kajian, serta studi lintas sektor, kami menghitung potensi kerugian ekonomi akibat dampak perubahan iklim di berbagai sektor strategis,” katanya.
Baca Juga:
- Bill Gates: Perubahan Iklim Tidak akan Mengakhiri Umat Manusia
- Bahlil: Penerapan Biodiesel dan Etanol Ciptakan Lapangan Kerja
- BRIN Kembangkan WoodPlastic, Inovasi Plastik Ramah Lingkungan dari Serbuk Kayu
Selain sektor pangan, ketersediaan air bersih juga terancam menurun hingga 27%, terutama di daerah padat penduduk dan wilayah pertanian utama. Penurunan ini setara dengan kehilangan sekitar 5,5 juta hektometer kubik per tahun, yang berpotensi menggerus PDB hingga 0,43% bila tidak diantisipasi.
“Ini dapat menurunkan PDB hingga 0,43% jika tidak diantisipasi,” ujarnya.
Dampak perubahan iklim juga berpotensi memperluas wilayah penyebaran penyakit endemik.
“Timbulnya malaria di lokasi yang sebelumnya sudah bebas dari penyakit yang disebabkan gigitan nyamuk Anopheles menjadi salah satu indikasi nyata,” tambahnya.
Dalam sektor energi, perubahan iklim juga memicu tantangan baru. Cuaca ekstrem dapat merusak infrastruktur pembangkit, sementara peningkatan suhu global mendorong naiknya kebutuhan pendingin udara di wilayah tropis.
“Kenaikan 1 derajat Celcius dapat menurunkan kapasitas pembangkit hingga 5,8% sementara pertumbuhan pasokan energi hanya menutupi 30% dari kebutuhan nasional,” tuturnya.
Franky juga mengingatkan pentingnya menjaga ekosistem mangrove dan wilayah pesisir yang menjadi benteng alami terhadap perubahan iklim. Banyak di antaranya kini dalam kondisi terdegradasi, sehingga menurunkan potensi jasa lingkungan dan meningkatkan risiko bencana.
KLH menekankan bahwa seluruh sektor perlu bersinergi untuk memperkuat langkah mitigasi dan adaptasi. Pendekatan lintas sektor dan kebijakan berbasis sains menjadi kunci untuk menjaga keberlanjutan pembangunan Indonesia di tengah eskalasi krisis iklim global.
