Kasus Leptospirosis di Yogyakarta Melonjak, Lingkungan Jadi Faktor Kunci

JAKARTA, sustainlifetoday.com — Kasus Leptospirosis di Kota Yogyakarta mengalami peningkatan signifikan meski musim hujan telah berakhir. Epidemiolog Universitas Gadjah Mada, Bayu Satria Wiratama, menilai penanganannya harus dilakukan setara dengan Kejadian Luar Biasa (KLB), meski status resmi KLB belum ditetapkan.
“Status KLB bukan hanya soal diumumkan atau tidak, yang penting Dinas Kesehatan sudah melakukan penanganan sebagaimana mestinya,” ujarnya dikutip dari podcast TropmedTalk pada Selasa (19/8).
Bayu menjelaskan, tren peningkatan kasus biasanya terjadi saat musim hujan atau setelah banjir akibat kontak dengan air yang tercemar bakteri Leptospira. Namun tahun ini, lonjakan kasus justru muncul di musim kemarau.
“Meski begitu, ada sesuatu yang berubah karena pada tahun ini lonjakan kasus justru muncul di musim kemarau,” ungkapnya.
Baca Juga:
- Greenpeace: Kemerdekaan Tak Bermakna Jika Masyarakat Adat dan Lingkungan Diabaikan
- PGN Dorong Pemberdayaan Masyarakat Lewat Bank Sampah di Bandung
- Penelitian: Hutan Amazon Bisa Hilang dalam 100 Tahun Akibat Perubahan Iklim
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang ditularkan melalui kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi urin tikus. Bakteri ini dapat masuk melalui luka pada kulit, bahkan luka kecil yang tidak terlihat. Gejalanya sering menyerupai demam berdarah atau chikungunya, sehingga berisiko terlambat terdiagnosis.
“Kalau demam tidak turun dalam 1-2 hari, apalagi ada riwayat aktivitas di lingkungan berisiko, segera periksa ke fasilitas kesehatan,” imbau Bayu.
Menurut Bayu, kondisi lingkungan, khususnya penanganan sampah, ikut memengaruhi penyebaran penyakit. Penumpukan sampah bisa menjadi sumber makanan dan tempat berkembang biak tikus sebagai pembawa bakteri.
“Kasus bisa naik meski tidak ada hujan atau banjir, karena faktor lingkungan juga sangat berpengaruh,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa pengendalian leptospirosis tidak cukup hanya mengandalkan sektor kesehatan. Dibutuhkan kerja sama lintas sektor, mulai dari Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pasar, Dinas PUPR, hingga partisipasi aktif masyarakat.
“Dengan pemahaman bahwa musim bukan lagi satu-satunya faktor risiko, penting bagi masyarakat untuk memperkuat langkah preventif secara konsisten sepanjang tahun,” pungkas Bayu.