Greenpeace: Kemerdekaan Tak Bermakna Jika Masyarakat Adat dan Lingkungan Diabaikan

JAKARTA, sustainlifetoday.com — Pidato kenegaraan Presiden Prabowo Subianto di Kompleks Parlemen, Senayan, Jumat (15/8), menuai kritik karena dinilai minim perhatian terhadap krisis iklim. Isu iklim sama sekali tidak disinggung, sementara klaim pencapaian ekonomi justru lebih ditonjolkan, sesuatu yang dinilai bertolak belakang dengan realitas di lapangan.
Juru Kampanye Keadilan Iklim Greenpeace Indonesia, Jeanny Sirait, menegaskan bahwa makna kemerdekaan sejati tidak dapat dilepaskan dari keadilan iklim.
“Pertumbuhan ekonomi pada kenyataannya tidak dirasakan oleh masyarakat, terutama mereka yang paling terdampak krisis iklim,” ujarnya, dikutip dari laman resmi Greenpeace Indonesia, Senin (18/8).
Kritik juga datang dari Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Sekar Banjaran Aji, yang menyesalkan masyarakat adat dan komunitas lokal tidak disebut sama sekali dalam pidato tersebut. Padahal, mereka adalah garda terdepan dalam menjaga kelestarian hutan, tanah, dan air.
“Selama ini masyarakat adat dan komunitas lokal sudah menjaga hutan, tanah, dan air di Indonesia. Hal tersebut adalah praktik konkret solusi terhadap krisis iklim yang seharusnya diadopsi negara sebagai bentuk keseriusan pemerintah. Jangankan dilibatkan, diakui keberadaannya pun tidak,” tegas Sekar.
Baca Juga:
- Fenomena Langka Blood Moon Hiasi Langit Indonesia September Mendatang
- Krisis Iklim Ancam Rusa Kutub, Populasi Bisa Turun 80% Akhir Abad Ini
- METI Dorong Energi Terbarukan, Kunci Wujudkan Ekonomi Hijau Indonesia
Meski Prabowo menyatakan ambisi mencapai 100 persen pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) dalam 10 tahun, Greenpeace menilai arah kebijakan energi nasional masih bertolak belakang.
Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), hingga 2034 porsi energi terbarukan di sektor kelistrikan Indonesia hanya diproyeksikan 29 persen, jauh dari target penuh 2035. Ironisnya, lima tahun pertama RUPTL justru menambahkan masif Pembangkit Listrik Tenaga Gas sebesar 10,3 GW.
Manager Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, memperingatkan kebijakan ini berisiko mengunci sistem kelistrikan pada infrastruktur berbasis fosil.
“Ambisi 100 persen energi baru terbarukan akan sulit tercapai jika pemerintah masih membuka jalan bagi pembangunan pembangkit berbasis fosil. Untuk mengejar ambisi ini, pemerintah harus segera fokus pada pembangunan pembangkit listrik terbarukan,” jelas Iqbal.
Di momen peringatan HUT Kemerdekaan, Greenpeace menegaskan kembali pentingnya menempatkan keadilan iklim sebagai fondasi kebijakan ekonomi dan pembangunan nasional. Prinsip ini menuntut agar setiap warga negara dapat hidup layak tanpa kehilangan tanah, udara bersih, dan sumber air akibat eksploitasi. Selain itu, keadilan iklim berarti perlindungan hutan, laut, dan masyarakat adat harus menjadi prioritas, serta transisi energi dijalankan dengan adil bagi seluruh rakyat Indonesia.