FOMO LNG Sebabkan Sektor Pelayaran Energi Terancam Rugi hingga Rp180 Triliun

Jakarta, sustainlifetoday.com — Penelitian terbaru mengungkap bahwa terdapat 60 kapal pengangkut gas alam cair (LNG) yang saat ini menganggur di seluruh dunia, dengan nilai aset terdampar (stranded asset) mencapai lebih dari US$11,36 miliar atau sekitar Rp180 triliun. Temuan ini menjadi peringatan keras bagi sektor pelayaran untuk mengevaluasi kembali strategi investasinya, seiring pergeseran sistem energi global menuju energi terbarukan.
Analisis dari kelompok kebijakan iklim Solutions for Our Climate (SFOC) menyebutkan bahwa kelebihan pasokan kapal LNG sebagian besar disebabkan oleh lonjakan pesanan spekulatif yang terjadi selama periode 2021–2022. Banyak dari kapal ini dibangun tanpa kontrak pengangkutan jangka panjang, dengan biaya rata-rata US$194,6 juta per kapal.
Namun, jika dijual untuk besi tua, total nilai pengembalian dari kapal-kapal tersebut diperkirakan hanya mencapai US$318 juta. Hal ini menciptakan eksposur keuangan yang signifikan bagi operator kapal dan perusahaan pelayaran global.
Kondisi pasar pun memburuk. Tarif sewa satu tahun untuk kapal LNG bertenaga diesel listrik tri-fuel telah anjlok hingga US$20.000 per hari, turun lebih dari 60% dibanding tahun lalu. Bahkan kapal dengan teknologi mesin dua-langkah terbaru yang lebih efisien hanya menghasilkan sekitar US$30.000 per hari, mendekati atau bahkan di bawah ambang impas.
Baca Juga:
- PPATK Bekukan Rekening Tak Aktif, Ini Penjelasan BNI dan BCA
- Wamen LH: Kebijakan Lingkungan Harus Berbasis Sains, Bukan Dorongan Politis
- Bahlil: Pemerintah akan Dorong PLTU Ramah Lingkungan
Akibatnya, operator mulai mempensiunkan kapal lebih awal. Sepanjang 2025, tercatat sudah delapan kapal LNG yang dibongkar, menyamai jumlah pembongkaran sepanjang 2024.
Meski terjadi surplus, pembangunan kapal baru masih berlanjut. Menurut Clarkson Research, saat ini terdapat 303 kapal LNG yang sedang dibangun di seluruh dunia, dengan 98 unit dijadwalkan selesai pada 2026 dan 98 unit lainnya pada 2027.
Badan Energi Internasional (IEA) dalam Gas Market Report terbaru memperkirakan bahwa permintaan gas alam global akan melambat dari pertumbuhan 2,8% pada 2024 menjadi hanya 1,3% pada 2025. Meski demikian, permintaan diprediksi pulih pada 2026, seiring dimulainya produksi dari proyek-proyek LNG baru di Amerika Serikat, Kanada, dan Qatar, yang diperkirakan menambah pasokan global hingga 40 miliar meter kubik atau naik 7%.
Namun, SFOC mengingatkan industri galangan kapal untuk tidak gegabah dalam memesan kapal LNG baru.
“LNG makin kalah bersaing dibanding energi terbarukan, dan era kapal pengangkut bahan bakar fosil perlahan menuju akhirnya,” kata Rachel Eun-bi Shin, peneliti rantai pasok energi di SFOC. “Meskipun mungkin terjadi penyesuaian pasar jangka pendek, industri galangan kapal harus berhati-hati agar tidak kembali menciptakan kelebihan pasokan kapal LNG.”
Kekhawatiran juga muncul di Korea Selatan, salah satu negara penghasil utama kapal LNG. Banyak galangan kapal di sana menghadapi potensi penurunan tajam pesanan baru setelah 2027 — fenomena yang disebut sebagai “order cliff” — yang dapat berdampak pada stabilitas keuangan sektor.
Sebagai solusi, para pelaku industri didorong untuk mulai beralih ke jenis kapal yang lebih beragam dan rendah emisi. Misalnya, sektor kapal pemasang turbin angin lepas pantai kini menjadi arena perebutan pangsa pasar global.
“Alih-alih menunggu kondisi pulih dan mendanai proyek-proyek yang berisiko secara ekonomi, Korea harus segera mengambil langkah untuk mengamankan peluang pertumbuhan berikutnya di industri kapal,” tegas Dongjae Oh, Kepala Divisi Keuangan Publik SFOC.