5 Satwa Indonesia Terancam Punah, Guru Besar UGM: Kolaborasi Jadi Kunci Penyelamatan
 
                                                                    
                                                                Jakarta, sustainlifetoday.com — World Wide Fund for Nature (WWF) mencatat bahwa 5 dari 10 satwa paling terancam punah di dunia hidup di Indonesia, namun berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan.
Lima satwa tersebut adalah orangutan Kalimantan, orangutan Sumatera, harimau Sumatera, trenggiling Sunda, dan penyu sisik, semuanya menghadapi ancaman serius akibat hilangnya habitat, perburuan liar, hingga dampak perubahan iklim.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM, Raden Wisnu Nurcahyo, menegaskan bahwa tantangan utama konservasi satwa liar di Indonesia terletak pada penyelamatan habitat yang semakin tidak aman untuk ditinggali.
“Hal tersebut disebabkan oleh perubahan fungsi lahan, perburuan liar yang kemudian dijual atau dimanfaatkan untuk kepentingan lain, terkena dampak perubahan iklim, dan terpapar penyakit,” ujarnya dilansir laman UGM Senin (20/10).
Menurut Wisnu, menjaga satwa liar tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja. Diperlukan kolaborasi lintas sektor, mulai dari masyarakat, LSM, perguruan tinggi, hingga pemerintah pusat dan daerah agar upaya perlindungan dapat berjalan efektif.
“Kalau kita tidak saling berkoordinasi, nantinya akan jalan sendiri-sendiri. Tidak boleh ada ego sektoral dalam melindungi satwa yang dilindungi ini,” tegasnya.
Baca Juga:
- PalmCo Tegaskan Komitmen Jaga Keanekaragaman Hayati Lewat Pengelolaan Kawasan HCV
- Diakui WHO, Biodiversitas Indonesia Jadi Sumber Obat Modern Alami
- Bank Aladin Syariah Gandeng Muhammadiyah Salurkan Beasiswa Magister
Ia juga menyoroti lemahnya penegakan hukum bagi pelaku perburuan dan perdagangan satwa liar.
“JIka yang diberikan hukuman yang ringan tidak akan memberikan efek jera bagi pelaku,” ungkapnya.
Selain langkah hukum, Wisnu menekankan pentingnya kampanye edukatif kepada masyarakat agar tumbuh kesadaran kolektif dalam melindungi satwa-satwa yang terancam punah.
“Kita harus memberikan penyadaran kepada masyarakat,” jelasnya.
Lebih jauh, ia menilai pendekatan budaya dan kearifan lokal dapat menjadi strategi tambahan dalam pelestarian satwa.
“Misalnya, beberapa daerah di Pulau Komodo yang memiliki kepercayaan bahwa komodo adalah saudara mereka sehingga mereka tidak mungkin membunuh saudaranya sendiri. Upaya tersebut menurutnya sebagai bentuk etno-konservasi,” katanya.
Wisnu juga mengingatkan bahwa hilangnya satwa liar dapat mengganggu keseimbangan ekosistem.
“Contohnya, perburuan rusa yang mengakibatkan predator kekurangan sumber pakan sehingga dia justru mengambil kambing milik penduduk sebagai sasaran,” terangnya.
Ia menjelaskan bahwa keberadaan satwa liar justru memberi banyak manfaat bagi alam, termasuk dalam menjaga regenerasi hutan.
“Salah satu contohnya adalah orang utan yang ternyata makan buah-buahan dan ketika mengeluarkan kotoran yang terdapat bijinya, biji tersebut tersebar dan dapat membuat hutan lebih subur,” tuturnya.
Pada akhirnya, Wisnu menegaskan bahwa kolaborasi dan komunikasi lintas sektor adalah kunci untuk menghentikan laju kepunahan satwa di Indonesia.
“Intinya, semua pihak itu harus bersama-sama, berkolaborasi, dan berkomunikasi untuk menjaga satwa liar dari kepunahan. Saya kira kita bisa melestarikan satwa liar dengan kekuatan kemampuan kita masing-masing,” pungkasnya.

 
                                                                     
                                                                    