Studi: Bumi Punya Musim-Musim Baru Akibat Perubahan Iklim

Jakarta, sustainlifetoday.com – Musim, yang dulu dipahami sebagai siklus alam yang teratur, kini mulai kehilangan ritmenya. Studi terbaru dari Progress in Environmental Geography tahun 2025 menyebutkan bahwa aktivitas manusia telah mengubah wajah bumi secara drastis, hingga pola musim klasik yang biasa dikenal pun tak lagi stabil.
Tak hanya pola lama yang bergeser, sejumlah musim baru kini bermunculan. Fenomena ini disebut sebagai musim antropogenik, musim-musim yang tercipta akibat aktivitas manusia sendiri.
Salah satu contohnya adalah musim kabut asap yang kini menjadi “musiman” di Asia Tenggara. Fenomena langit kelabu penuh asap ini muncul akibat pembakaran hutan dan lahan pertanian saat kemarau, dan berlangsung selama berminggu-minggu. Bali pun kini mengenal yang disebut musim sampah, ketika plastik-plastik dari laut terbawa arus ke pesisir antara November hingga Maret setiap tahun.
Para ilmuwan juga mencatat adanya “musim sinkop”, musim panas yang lebih panas, musim dingin yang tak lagi dingin, dan cuaca ekstrem yang semakin tak terprediksi di wilayah subtropis. Semua ini membuat musim-musim yang dulu menjadi penanda waktu dan ritme kehidupan, kini bergeser menjadi “musim aritmik”, istilah dari dunia medis untuk menggambarkan ritme musim yang tak beraturan, layaknya gangguan irama jantung.
Baca Juga:
- VinFast Bangun Ekosistem EV Indonesia Lewat Kemitraan Bengkel
- Hari Harimau Internasional 2025, Refleksi Bersama untuk Menjaga Ekosistem
- AHY: Kereta Api Berperan Capai Target Nol Emisi Nasional 2060
Perubahan ini tidak hanya membingungkan satwa liar, yang tak tahu kapan harus bermigrasi atau berkembang biak, tetapi juga mengacaukan kehidupan masyarakat. Di Thailand utara, misalnya, ritme air Sungai Mekong yang berubah karena pembangunan bendungan mengganggu pertanian dan perikanan tradisional.
Lalu, musim kemarau yang kini semakin panjang dan musim hujan yang makin pendek membuat risiko kebakaran meningkat, dan menciptakan ketidakpastian besar bagi petani.
Meski demikian, ada sisi adaptif dari manusia. Kesadaran masyarakat Asia Tenggara terhadap “musim kabut asap” misalnya, telah melahirkan prakiraan cuaca khusus dan instalasi filter udara di rumah. Tapi langkah-langkah ini hanya mengurangi gejala, bukan menghapus akar masalahnya.
Jika kabut asap, musim sampah, dan musim-musim buatan lainnya dianggap sebagai “kebiasaan baru”, maka dunia bisa terjebak dalam sikap permisif terhadap krisis lingkungan.