Perubahan Iklim Tingkatkan Risiko Malaria hingga DBD, BRIN Ingatkan Ancaman Kesehatan

JAKARTA, sustainlifetoday.com — Kepala Organisasi Riset Kesehatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Indi Dharmayanti, menegaskan bahwa perubahan iklim bukan hanya isu lingkungan, tetapi juga ancaman serius bagi kesehatan masyarakat.
Perubahan suhu, curah hujan, dan cuaca ekstrem disebut memengaruhi penyebaran penyakit yang ditularkan hewan (zoonosis), seperti nyamuk dan kutu. Hal ini meningkatkan risiko penyakit malaria, demam berdarah, chikungunya, hingga zoonosis lain.
“Kita dapat memperbarui data sekaligus menyusun strategi pengendalian adaptif berbasis sains,” kata Indi dilansir Media Indonesia pada Jumat (19/9).
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi BRIN, Triwibowo Ambar Garjito, menambahkan bahwa BMKG mencatat 2024 sebagai tahun terpanas dengan suhu rata-rata 27,5 derajat celsius. Curah hujan ekstrem dan banjir rob juga menciptakan habitat baru bagi nyamuk, termasuk di dataran tinggi di atas 1.000 mdpl yang sebelumnya bebas malaria.
Kelembaban tinggi mempercepat siklus hidup Aedes aegypti dan Aedes albopictus, yang memperbesar ancaman demam berdarah.
Baca Juga:
- Sampah Jadi Sorotan Usai Banjir Bali, BWS: Masyarakat Harus Berubah
- Kerap Blunder Saat Menjabat, Hasan Nasbi Jadi Korban Reshuffle Prabowo
- KLH: Pagar Laut Cilincing Sudah Kantongi Persetujuan Lingkungan
“Deforestasi dan perubahan tata guna lahan memperbesar kontak manusia dengan hewan pembawa penyakit. Dibutuhkan pendekatan multidisipliner untuk memprediksi, memantau, dan mengurangi beban penyakit,” ujar Triwibowo.
Sementara itu, peneliti BRIN Arief Mulyono menyoroti ancaman penyakit yang dibawa kelelawar dan tikus. Kelelawar diketahui menjadi reservoir virus berbahaya seperti nipah dan hendra. Tikus, dengan kemampuan reproduksi tinggi, membawa lebih dari 80 jenis patogen.
“Kasus leptospirosis, misalnya, sering melonjak pascabanjir besar akibat meningkatnya populasi tikus dan buruknya sanitasi,” ungkap Arief.
Arief menambahkan bahwa perubahan iklim juga mendorong satwa liar bermigrasi lebih dekat ke permukiman. Kelelawar vampir di Amerika Latin bahkan meluas ke wilayah baru akibat kenaikan suhu, yang meningkatkan risiko penularan ke ternak maupun manusia.
Ia menekankan perlunya pengendalian komprehensif, mulai dari surveilans, manajemen habitat, konservasi hutan, hingga edukasi masyarakat.