Pengadilan Swiss Buka Sidang Gugatan Warga Pulau Pari Terhadap Semen Holcim

Jakarta, sustainlifetoday.com — Pengadilan di Zug, Swiss, Rabu (3/9) waktu setempat, membuka sidang gugatan empat warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, terhadap perusahaan semen Holcim. Gugatan ini menuntut kompensasi atas kerusakan lingkungan akibat perubahan iklim yang diduga dipicu emisi karbon dari aktivitas industri Holcim.
Pulau Pari yang berluas sekitar 42 hektar dilaporkan telah kehilangan 11 persen wilayahnya akibat kenaikan permukaan laut. Warga menyebut banjir rob semakin sering terjadi, merusak rumah, serta mengganggu mata pencaharian nelayan dan pelaku wisata.
“Saya berharap kasus ini akan menjadi inspirasi bagi para korban iklim lainnya di seluruh dunia,” kata Asmania, salah satu penggugat, kepada wartawan di Swiss pekan lalu, dikutip AFP.
Dalam tuntutannya, warga meminta Holcim membayar kompensasi sebesar 3.600 franc Swiss (sekitar Rp73,6 juta) per orang untuk langkah adaptasi, termasuk penanaman mangrove dan pembangunan pemecah gelombang. Mereka juga mendesak perusahaan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 43 persen pada 2030 dan 69 persen pada 2040.
Baca Juga:
- Pernyataan PBB: Desak Investigasi Menyeluruh atas Kekerasan Demo di Indonesia
- Pemprov DKI Dorong Usaha Kuliner Kecil Lebih Ramah Lingkungan Lewat SPPL
- MIND ID Targetkan Penurunan Emisi 6,6 Juta Ton CO2e pada 2030
Organisasi Swiss Church Aid (HEKS), yang mendampingi gugatan, menyebut jumlah kompensasi itu hanya 0,42 persen dari total biaya kerusakan. Persentase ini merujuk pada kontribusi Holcim terhadap emisi industri global sejak 1750.
Holcim dalam pernyataannya menegaskan komitmen terhadap aksi iklim, namun menolak gugatan.
“Pertanyaan mengenai siapa yang boleh mengeluarkan berapa banyak CO₂ seharusnya ditentukan oleh pemerintah, bukan pengadilan,” ujar perusahaan.
Kasus ini menjadi yang pertama kali warga Indonesia menggugat perusahaan asing atas dampak perubahan iklim, sekaligus gugatan pertama terhadap perusahaan semen besar terkait emisi global. Putusan pengadilan belum dijadwalkan, namun para pengamat menilai perkara ini bisa menjadi tonggak penting dalam perjuangan hukum terkait keadilan iklim.