KLH Dorong Produsen Bayar Lebih untuk Kemasan yang Sulit Didaur Ulang

JAKARTA, sustainlifetoday.com — Sampah plastik bernilai rendah atau residu kembali menjadi sorotan, karena sulitnya didaur ulang dan minimnya nilai ekonomis di mata offtaker. Jenis plastik ini umumnya berasal dari kemasan multilayer seperti bungkus permen, kopi, mi instan, hingga kemasan sabun yang mengandung aluminium foil.
Sulitnya mendaur ulang membuat para pembeli sampah enggan menyalurkan plastik bernilai rendah ke pihak pendaur ulang. Bahkan, harga jualnya sangat rendah di pasaran.
“Misalnya, kantong plastik (kresek) yang harganya 1 kg sekitar Rp 250 sampai Rp 500. Padahal, 1 kg kresek setara mengumpulkan 100 lembar plastik. Sama juga kayak bungkus mie instan. Harganya sangat murah, Rp 500 per 1 kg atau setara 500 lembar plastik,” kata Direktur Pengurangan Sampah dan Pengembangan Ekonomi Sirkular KLH, Agus Rusly dalam webinar pada Jumat (26/9).
“Plastik-plastik yang bernilai rendah itu tetap menjadi beban sampah di lingkungan,” lanjutnya.
Untuk itu, KLH mendorong agar produsen mendesain ulang kemasan agar lebih mudah didaur ulang, atau mengambil kembali sisa produk yang beredar di masyarakat.
Meski sulit didaur ulang, ada beberapa jenis sampah yang mulai diminati. Salah satunya popok sekali pakai.
Baca Juga:
- Swiss-Belhotel Airport Yogyakarta Rayakan HUT ke-38 dengan Aksi Bersih Pantai Glagah
- Pertamina: Pasokan BBM untuk Shell dan BP Tiba Hari Ini
- Prabowo Pamer Giant Sea Wall di PBB, Klaim Jadi Benteng Hadapi Krisis Iklim
“Jadi, popok itu tadinya kita kategorikan sebagai residu. Mohon maaf, seperti pembalut wanita gitu ya, itu masuknya residu sebenarnya. Tapi beberapa bulan terakhir ini, saya ketemu sama beberapa perusahaan yang justru memanfaatkan popok, pembalut, dan sebagainya misalnya, termasuk popok dewasa, orang-orang tua banyak pakai popok biar tidak bolak-balik ke kamar mandi. Itu ternyata dicari dan bukan masuk kategori sampah residu,” jelas Agus.
Hal serupa juga terjadi pada styrofoam (polistiren), yang dulunya dianggap sulit diolah, namun kini mulai dilirik sejumlah pihak.
Ke depan, Agus menekankan pentingnya penerapan Tanggung Jawab Produsen yang Diperluas (Extended Producer Responsibility/EPR). Artinya, seluruh produsen harus bertanggung jawab terhadap kemasan pascakonsumsi. “Indonesia perlu ekomodulasi atau mekanisme kebijakan EPR yang memerintahkan produsen dengan produk yang sulit didaur ulang untuk membayar lebih mahal,” tambahnya.
Selain itu, KLH juga menegaskan langkah penghentian impor sampah plastik, serta mendorong pelaku usaha mengambil plastik yang sudah menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA) di dalam negeri.