Jelang COP30, Indonesia Dorong Aksi dan Pendanaan untuk Adaptasi Iklim

Jakarta, SustainLife Today — Indonesia bersiap memainkan peran strategis dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP30) yang akan digelar di Brasil, November 2025. Dalam forum global tersebut, Indonesia akan mendorong realisasi pendanaan iklim yang lebih adil dan menguatkan posisinya sebagai pemimpin transformasi rendah emisi di tingkat internasional.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup (KLH), Diaz Hendropriyono, menegaskan bahwa pendanaan menjadi prioritas utama delegasi Indonesia. Ia menyebut janji pendanaan sebesar 100 miliar dolar AS per tahun dari negara maju yang seharusnya mulai mengalir sejak 2020. Angka ini sendiri masih jauh dari target.
“Saat ini, janji pendanaan iklim sebesar 100 miliar dolar AS per tahun yang seharusnya direalisasikan sejak 2020 masih jauh dari kenyataan. Data terakhir dari UNFCCC menunjukkan bahwa hingga 2022, jumlah yang benar-benar tersedia baru mencapai 67 miliar dolar AS. Bagi Indonesia, ini bukan sekadar angka, ini adalah bukti bahwa komitmen global terhadap keadilan iklim masih timpang,” ujar Diaz dalam Sosialisasi Hasil Perundingan SB 62, Senin (14/7) di Jakarta.
Indonesia akan membawa 12 agenda utama dalam perundingan COP30, yang mencakup 19 kelompok kerja. Fokus isu yang dibawa antara lain global stocktake, pendanaan loss and damage, ketahanan pangan dan kelautan, gender dan perubahan iklim, serta peran komunitas lokal dan masyarakat adat.
Baca Juga:
- Industri Data Center Terancam Risiko Iklim, Potensi Kerugian Capai Miliaran Dolar?
- Uni Eropa Desak China Ambil Peran Global Hadapi Krisis Iklim
- Kapasitas Listrik Energi Terbarukan Global Naik 15,1%, Pertumbuhan Didominasi Asia
Selain itu, Indonesia juga tengah menyusun dokumen National Adaptation Plan (NAP) yang menjadi strategi nasional menghadapi risiko bencana iklim.
“Kita diminta merumuskan dokumen loss and damage, lalu national adaptation plan. Isu-isu lain yang juga sedang bergulir adalah gender and climate change, local communities and indigenous people, dan peninjauan ulang terkait peningkatan kapasitas negara-negara berkembang,” jelas Diaz.
Indonesia juga aktif memperkuat mekanisme perdagangan karbon internasional melalui implementasi Pasal 6.4 Perjanjian Paris, yang membahas pembagian keuntungan (share of proceeds) dari transaksi karbon.
“Walaupun sudah ada share of proceed dalam Artikel 6.4 yang menjelaskan soal pembagian keuntungan skema perdagangan karbon kepada negara berkembang, Indonesia masih bertekad mendorong penambahan kontribusi pendanaan dari negara maju,” lanjut Diaz.
Diaz mengajak seluruh kementerian dan lembaga untuk bersatu dan membawa satu suara dalam forum iklim dunia.
“Kita harus datang bukan sekadar membawa nama instansi, tetapi membawa suara resmi negara,” tegasnya.
Dengan COP30 sebagai momentum strategis menuju keadilan iklim global, Indonesia berharap dapat mengonsolidasikan langkah diplomatik yang inklusif, berkelanjutan, dan berkeadilan untuk melindungi masa depan ekologi dan ekonomi rakyat.