Daya Beli Rendah hingga Akses Pembiayaan yang Sulit, Begini Kata Ketum Asosiasi IUMKN

JAKARTA, sustainlifetoday.com — Di tengah kondisi banjir likuiditas, penyaluran kredit perbankan justru diperkirakan tumbuh moderat. Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhan kredit industri perbankan pada akhir 2025 hanya di kisaran 8%–11%, lebih rendah dibanding proyeksi sebelumnya yang sempat mencapai 11%–13%.
Hingga Agustus 2025, pertumbuhan kredit tercatat 7,56% secara tahunan, naik tipis dari Juli 2025 sebesar 7,03%, namun masih jauh di bawah capaian Agustus 2024 yang mencapai 12,4%. Meski begitu, masih terdapat ruang besar bagi penyaluran kredit. Data BI mencatat jumlah kredit yang belum dicairkan mencapai Rp2.372,11 triliun pada Agustus 2025, setara 22,71% dari total plafon kredit Rp10.447,31 triliun.
Situasi ini memunculkan harapan agar limpahan likuiditas benar-benar dapat tersalurkan ke sektor riil, terutama UMKM sebagai motor penggerak ekonomi.
Namun, Ketua Umum Asosiasi IUMKM Indonesia (AKUMANDIRI), Hermawati Setyorinny, menilai kenyataan di lapangan masih jauh dari ideal.
“Selalu ada gaduh, pejabat itu seperti hanya memberikan rilis yang seperti angin segar. Tapi pada implementasinya susah dijangkau oleh pelaku usaha mikro dengan syarat prosedur yang sangat ketat. Apalagi dengan bunga di tengah daya beli masyarakat yang turun, barang impor masuk luar biasa, harusnya bunganya juga tidak separah itu,” jelas Hermawati dikutip dari segmen Market Review di YouTube IDX Channel, Jumat (26/9).
Ia menambahkan, prosedur yang berbelit dan tenor panjang membuat UMKM menjadikan perbankan bukan pilihan utama untuk akses modal.
“Kalau dihitung, misalnya tenor 3 tahun akhirnya jadi tinggi, lebih tinggi daripada fintech lainnya. Malahan mereka lebih senang mengambil dari pinjol karena mungkin hanya satu minggu mereka butuh, mereka bisa kembalikan meskipun bunganya sebenarnya besar,” ujarnya.
Baca Juga:
- Swiss-Belhotel Airport Yogyakarta Rayakan HUT ke-38 dengan Aksi Bersih Pantai Glagah
- Pertamina: Pasokan BBM untuk Shell dan BP Tiba Hari Ini
- Balas Sindiran Donald Trump, PBB: Dunia Tetap Melaju ke Energi Bersih
Hermawati menekankan bahwa kebutuhan utama UMKM tetaplah modal. Namun, keterbatasan akses membuat pemerintah perlu hadir dengan kebijakan khusus.
“Industri perbankan sebenarnya tidak salah karena mereka mengikuti aturan saja. Tapi harus ada regulasi yang tepat,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa ada dua kategori UMKM dalam menghadapi kondisi saat ini, yaitu sebagian yang masih bisa memanfaatkan fasilitas pembiayaan, dan sebagian besar yang tetap tidak terjangkau.
“Sementara sebenarnya Menkeu sendiri bilang ditempatkan di situ dengan bunga rendah. Nah mesti itu sebenarnya clue, tinggal regulasinya mana,” ungkap Hermawati.
Menurutnya, pemerintah pusat bisa meniru kebijakan beberapa daerah yang menyalurkan pembiayaan melalui APBD dengan bunga rendah.
“Di negara lain, untuk UMKM bunganya hanya 2%. Di beberapa daerah kita pernah ada program 3%. Kenapa pemerintah pusat tidak bisa melakukan itu? Sehingga UMKM bisa mendapatkan akses, padahal mereka memang butuh,” ujar Hermawati.