Balas Sindiran Donald Trump, PBB: Dunia Tetap Melaju ke Energi Bersih

JAKARTA, sustainlifetoday.com — Penasihat PBB bidang keberlanjutan sekaligus ekonom Columbia University, Jeffrey Sachs, menegaskan bahwa sikap Presiden Amerika Serikat (AS) yang menolak keberadaan krisis iklim tidak akan mengurangi komitmen negara-negara lain dalam menurunkan emisi. Menurutnya, kerja sama multilateral memang tengah menghadapi tantangan, namun transisi energi global tetap bergerak maju.
Dalam pidatonya di Sidang Umum PBB, Donald Trump menyebut perubahan iklim sebagai “penipuan terbesar.” Pernyataan itu muncul menjelang Konferensi Perubahan Iklim (COP30) yang akan digelar PBB di Brasil, November mendatang.
Sachs mengakui pernyataan tersebut mengejutkan banyak pihak, namun ia menilai negara lain justru semakin berkomitmen menuju ekonomi bersih.
“Saya berbicara dengan banyak kepala negara, saya belum mendengar satu pun presiden, setidaknya mendengar langsung, bahwa pengabaian AS di bawah pemerintah Trump terhadap isu (perubahan iklim) mengubah cara pandang mereka sepenuhnya,” kata Sachs dalam kegiatan Climate Week di New York dilansir pada Kamis (25/9).
Ia menekankan ada alasan kuat mengapa transisi energi tetap berlanjut, yakni biaya energi terbarukan yang semakin murah. Harga tenaga surya, misalnya, kini turun drastis hingga 8 sen per watt.
Baca Juga:
- RDF Rorotan Klaim Ramah Lingkungan, DLH DKI: Bisa Pantau Asap Secara Online
- KLH Ajak Tokoh Agama dan Masyarakat Perkuat Gerakan Perlindungan Lingkungan
- MPR RI Dorong Kolaborasi Nasional Hadapi Krisis Iklim
“Sejujurnya bertolak belakang dengan klaim Donald Trump kemarin ketika ia mengatakan bahan bakar fosil baik dan anda merusak negara anda dengan beralih ke energi terbarukan, itu salah bahkan dari kalkulus biaya paling dasar,” ujar Sachs.
Selain isu iklim, Sachs juga menyoroti perlunya reformasi lembaga keuangan global seperti Bank Dunia agar mampu menyalurkan lebih banyak pendanaan untuk pembangunan berkelanjutan. Namun, ia mengakui agenda reformasi tersebut masih terhambat oleh sikap negara-negara kaya yang enggan menambah modal baru.
Sebaliknya, para pemegang saham mendorong efisiensi dengan dana yang ada. Sachs tidak sependapat dengan langkah ini. Ia menilai menambah modal bukanlah hal sulit, serta mengusulkan agar negara-negara berkembang, termasuk China, diberi peran lebih besar dalam sistem bank pembangunan.