Orangutan Tapanuli Terancam Punah, BRIN Dorong Koeksistensi Manusia dan Satwa

Jakarta, sustainlifetoday.com — Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), spesies primata endemik Sumatera Utara yang diyakini sebagai nenek moyang tertua orangutan di Indonesia, kini berada di ambang kepunahan akibat konflik dengan manusia dan kerusakan habitat.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wanda Kuswanda, menjelaskan analisis genetik menunjukkan orangutan Tapanuli merupakan spesies orangutan paling tua, dengan migrasi awal dimulai dari selatan Danau Toba. Fakta tersebut, menurutnya, menempatkan konservasi orangutan Tapanuli sebagai prioritas global.
“Saat ini, kita masih dalam proses mempublikasikan data terbaru, namun diperkirakan populasi orangutan Tapanuli hanya berkisar 577 hingga 760 individu. Angka yang sangat rendah ini menjadikan mereka salah satu spesies yang paling terancam,” kata Wanda dilansir Jumat (5/9).
Habitat utama orangutan Tapanuli di lanskap Batang Toru kini hanya menyisakan 66 persen area yang layak huni. Pembukaan lahan, penebangan liar, serta perluasan perkebunan kelapa sawit dan eukaliptus disebut mengikis ruang hidup satwa tersebut.
Baca Juga:
- BNI Perkuat Komitmen Keberlanjutan di Hari Pelanggan Nasional
- DPR Desak Pemerintah Tuntaskan Masalah Sampah Demi Jaga Iklim
- Pertamina Catat Progres Positif Transisi Energi, Emisi Turun Lebih dari 1 Juta Ton
“Bahkan di area APL (Area Penggunaan Lain) yang seharusnya tidak mengganggu habitat, perkebunan ini mengisolasi pergerakan orangutan,” jelas Wanda.
Fragmentasi habitat telah membagi populasi menjadi tiga blok utama terpisah, meningkatkan risiko perkawinan sedarah dan penurunan keragaman genetik.
Konflik dengan manusia juga meningkat dalam satu dekade terakhir, terutama akibat persaingan sumber pakan dengan masyarakat yang mengandalkan kebun durian atau petai.
“Bayangkan, jika satu orangutan masuk ke kebun durian, dalam dua atau tiga hari saja satu pohon penuh durian bisa habis,” kata Wanda.
Kerugian ekonomi mendorong petani mengusir orangutan dengan cara agresif, termasuk membakar atau melukai satwa. Wanda mencatat tiga faktor utama pemicu konflik, yakni melimpahnya sumber pakan di kebun warga, penebangan liar, dan perasaan dirugikan.
“Ketika ketiga faktor ini terpenuhi, potensi konflik manusia dan orangutan mencapai 90 persen,” tegasnya.
Untuk mengatasi krisis ini, Wanda menawarkan pendekatan koeksistensi berbasis empat pilar: ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya. Dari sisi ekologi, konservasi harus menjaga koridor pergerakan satwa; dari sisi ekonomi, masyarakat perlu alternatif usaha seperti ekowisata atau agroforestri; dari sisi sosial dan budaya, diperlukan perubahan cara pandang terhadap orangutan.
“Keberadaan orangutan seharusnya dilihat sebagai aset, bukan beban,” ujarnya.
Wanda juga menekankan perlunya payung hukum setingkat peraturan presiden agar koordinasi lintas kementerian lebih efektif.
“Koeksistensi akan tercapai ketika kita, manusia, mampu menyadari kebutuhan ekonomi, sosial, dan budaya kita harus seimbang dengan kebutuhan ekologi orangutan. Selama kita masih merasa berada di atas mereka, koeksistensi akan sulit dicapai,” katanya.